Minggu, 29 Juli 2012

Papua


Di tengah belantara hutan sagu dan bakau yang lebat di pesisir Selatan Papua, di sanalah terdapat Kokonao, daerah yang terperosok sepi dan terlupakan. Namun, keindahannya mampu menutupi semua kekurangannya.

Kokonao yang memiliki pemandangan alam nan elok merupakan ibu kota distrik Mimika Barat, Papua. Untuk mencapainya, kita membutuhkan waktu dua setengah jam lebih menyusuri sungai-sungai yang bercabang dan bermuara ke Laut Arafura dengan menggunakan speedboat dari Mapurujaya, Timika.
Seperti daerah-daerah lainnya di sepanjang Pesisir Selatan, Kokonao bisa dicapai dengan transpotasi air yang tergantung pada pasang surut air laut (perhitungan air). Pada saat air laut surut, sungai-sungai akan menjadi dangkal dan beberapa tempat berubah menjadi hamparan lumpur. Jika kita beruntung, ada pesawat perintis dari Timika dan kita pun bisa mencapai Kokonao dalam waktu 25 menit. Namun, penerbangan ke Kokonao tidak ada setiap minggu. 
Hari beranjak malam ketika kami tiba di Kokonao. Penduduk "kota" tertua yang sebenarnya lebih mirip sebuah dusun yang tertinggal di pedalaman ini belum bisa menikmati pelayanan listrik. Memang terdapat satu-dua genset milik pedagang-pedagang Bugis dan Paroki Maria Bintang Laut Kokonao.
Sebagai sarana publik, di Kokonao terdapat SD Negeri, Sekolah Menengah, dan Sekolah Sepak Bola yang dikelola oleh Paroki yang bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) serta sarana kesehatan atau Puskesmas, dan dua tempat ibadah, yaitu gereja Katolik dan masjid kecil yang kalau di Pulau Jawa dan Sumatera lebih mirip dengan suaru. 
Penduduk distrik Mimika Barat berjumlah 4000 jiwa. Mata pencarian mereka masih merupakan sisa-sisa dari masyarakat berburu dan meramu. Alam Papua yang kaya akan keberagaman tumbuhan dan satwa menyediakan segala kebutuhan mereka. Pohon-pohon sagu di sepanjang pesisir melimpah sebagai sumber makanan utama. Mereka juga mengonsumsi berbagai jenis ikan, seperti kakap dan baronang yang  sangat mudah mendapatkannya. Ketersediaan hutan-hutan bakau yang lebat, menyediakan udang dan karaka (sejenis kepiting) yang hidup dan bertelur di antara akar-akar bakau. Selain itu, mereka juga berburu anjing hutan, babi, kus-kus, burung kasuari dan kanguru pohon ke hulu-hulu sangai yang ditumbuhi berbagai macam jenis tumbuhan hutan hujan tropis yang lebat.
Akibat dari perang panjang antara suku Asmat dengan suku Kamoro yang menyebabkan teror dan ketakukan pada suku Kamoro membuat gereja Katolik meminta pertolongan Belanda untuk membantu orang-orang Kamoro. Karena hal tersebut, ajaran gereja Katolik tumbuh subur di daerah Mimika. Kebiasaan mereka yang tadinya suka berpindah-pindah, akhirnya mulai menetap di sekitar Kokonao. Anak-anak mereka mulai masuk sekolah dan kemudian menjadi guru-guru yang membantu tugas misionaris Belanda di wilayah ini. Dan, akhirnya Kokonau pun menjadi pusat pemukiman suku Kamoro. 
Germanus Wayaru merupakan salah seorang tetua suku Kamoro, ia menyebut diri mereka sebagai orang Mimika. Mimika berasal dari perkataan Mi-mi-yei-ka yang berarti sungai yang mengalir ke hulu. Air yang mengalir ke hulu ini merupakan air laut yang pasang melewati sungai-sungai berkelok dan menggenangi hamparan hutan-hutan bakau dan rawa-rawa yang ditumbuhi pohon-pohon sagu. Mimika menjadi penunjuk identitas yang mengaju pada masyarakat pesisir pengguna bahasa Kamoro dan saudara serumpun mereka, suku Sempan.
"Kami adalah orang Mimika," kata Germanus Wayaru, Kepala Suku Kampung Mimika, yang kami temui di Kampung Mimika, Kokonao. "Kita semua orang Kamoro. Karena kita semua adalah orang hidup," tegas Germanus. Bagi suku pesisir ini, kamoro berarti orang hidup.

0 komentar:

Posting Komentar